Cerpen Remaja "Alarm Reyhan" ~ Bersyukur dan Berbahagia

About Me

About Me


Penikmat sastra dan staff pengajar fisika
di salah lembaga bimbingan belajar di Padang.
Bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Hobby melakukan apapun asal menyenangkan.

FLP

FLP
Logo FLP

Thursday, July 28, 2016

Cerpen Remaja "Alarm Reyhan"



ALARM REYHAN
Irepia Refa Dona
Terbit di singgalang 05 Juni 2016


Langkah kaki terdengar memasuki rumah kecil yang dulu dihuni oleh Bu Meira. Bunyi itu berasal dari getaran sepasang sepatu yang berwarna hitam. Sepertinya si pemilik sepatu baru saja membelinya atau bisa jadi sepatu itu baru siap disemir. Sepatu hitam mengkilap. sepatu itu milik seorang laki-laki berusia sekitar setengah abad. Di tangannya terdapat tas berbentuk persegi dengan merk yang cukup terkenal saat ini. Sepertinya tas tersebut berisi sebuah laptop. Laki-laki itu memasuki rumah Bu Meira dengan langkah setengah tertahan.
Langkahnya terhenti saat sampai di dekat sebuah meja yang dilengkapi kursi. Dibukanya jendela. Pemandangan yang sama dengan tujuh tahun yang lalu. Dia meletakkan tasnya di atas meja, tidak peduli terhadap kabut yang bersemayam di atas meja tersebut. Matanya yang sayu menatap keluar jendela yang berada tepat di depan meja itu. Menatap jauh. Pandangannya kosong. Seakan ingin menemukan sesuatu yang dulu pernah ada.
Beberapa saat kemudian, air menetes dari ujung kedua matanya. Tidak ada angin yang menyebabkan matanya berair. Tidak ada hujan yang membasahi pipinya. Air itu dibiarkan menetes sampai melewati bibirnya. Perlahan kepalanya direbahkan ke meja, beralaskan tas yang di bawahnya tadi. Entah berapa lama dia berada dalam posisi seperti itu.
*****

“Rey, Ibu tahu sekarang jadwal kamu menonton. Tapi Ibu mohon, jangan menonton sambil tiduran!” Suara Bu Meira mengejutkan Reyhan. Reyhan adalah putra semata wayangnya. Meski dibesarkan tanpa sosok Ayah yang mendapinginya, dia tetap tumbuh menjadi anak yang baik dan penurut. Dia tidak pernah membantah perkataan Ibunya.
Dari Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP, dia selalu mendapatkan juara umum. Tidak pernah terlambat datang  ke sekolah. Tugasnya selalu siap bahkan jauh hari sebelum di kumpulkan. Sepulang sekolah langsung pulang. Tidak ada kata pergi bermain dengan temannya. Karena hal itulah Reyhan tidak memiliki banyak teman.
Spontan Reyhan langsung duduk mendengar teriakan ibunya tadi. Dia menggeleng-geleng sendiri sambil memikirkan bagaimana Ibunya bisa tahu kalau dia sedang nonton.
“Naluri seorang Ibu itu sangat kuat Reyhan. Ada ikatan bathin antara Ibu dan anak.” Lagi-lagi Reyhan mengerutkan kening. Terbentuk beberapa lipatan di keningnya. Seperti kain keluar dari mesin cuci.
“Apa Ibu hantu?” Suara Reyhan terdengar gelagapan. Antara ingin keluar dengan tidak.
“Apa kamu mendo’akan Ibu mati?” Reyhan terkejut mendengar pertanyaan Ibunya barusan. Dia buru-buru menjawab pertanyaan Ibunya, kalu bukan itu yang dia inginkan. “Kalau kamu tidak ingin Ibu mati,cepatlah belajar! Waktu menontonmu sudah habis.
Reyhan menghela nafas dalam, saat mengetahui Ibunya lagi memasak. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan tentang Ibunya. Bagaimana mungkin Ibunya hafal setiap jadwal yang telah diatur untuknya. Tanpa terlewat satu menitpun. Bahkan saat Ibunya sedang memasak. Reyhan duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mengambil buku pelajaran. Dia tidak ingin lagi Ibu kembali memangilnya karena hanya duduk dan memandang ke luar jendela. Karena dia yakin, dia pasti akan ketahuan oleh Ibunya
Bu Meira saat ini sudah berusia 45 tahun. Semenjak suaminya meninggal 10 tahun yang lalu, dia membesarkan Reyhan sendirian. Dia beternak ayam untuk menyambung hidupnya. Dia juga membuat makanan, kemudian di letakkan di warung-warung dekat rumahnya. Bu Meira tidak pernah kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah Reyhan. Hal itu juga disebabkan karena Bu Meira disiplin dalam segala hal. Tidak hanya mengatur pengeluaran. Bahkan juga dalam mengatur jadwal Reyhan.
Bu Meira melakukanya karena dia ingin Reyhan menjadi orang yang sukses. Jika nanti dia sudah tidak ada lagi di dekat Reyhan. Dia tidak akan lagi cemas meninggalkan Reyhan. Jika nanti ia pergi untuk selamanya. Dia bisa pergi dengan tenang. Karena itulah dia selalu mengatur jadwal Reyhan, anak kesayangannya.
Pada saat Reyhan masih anak-anak, dia masih terima di atur seperti itu oleh Ibunya. Tapi pada saat dia mulai remaja, saat dia mulai bergaul dengan teman-temannya, saat Ibunya tidak lagi mengantarnya ke sekolah, Reyhan mulai protes pada Ibunya.
“Ibu, besok aku mau pergi berenang ke laut dengan teman-temanku.” Tapi... kamu tidak bisa berenang Reyhan.”
“Justru itu Ibu. Semua teman-temanku sudah bisa berenang. Sedangkan aku?”
“Jika kamu ingin belajar berenang, Ibu akan mencarikan pelatih renang untumu. Kamu bisa...”
“Aku muak dengan segala jadwal yang Ibu buat untukku.” Reyhan memotong ucapan Ibunya dengan nada yang tinggi. Dia bergegas menuju kamarnya. Tanpa menghiraukan Ibunya. Baru kali ini Reyhan membantah kata Ibunya. Bu Meira menghela nafas dalam. Terpaku seperti kehabisan energi untuk bergerak. Dia berjalan tertaih-tatih menuju sebuah almari kecil keluarganya. Mencoba mencari sesuatu dengan tangan yang mulai bergetar. Sebuah kotak kecil di ambil dari dalam almari. Dia membuka tutup botol dengan tangan yang masih bergetaran. Di keluarkan beberapa butir pil. Dan membawannya menuju meja makan. Menuangkan segelas air. Kemudian menelan pil tersebut. Entah itu pil apa. Tidak ada yang tahu. Bahkan reyhan putra semata wayangnya.
Pagi-pagi sekali Reyhan berjalan keluar dari kamarnya. Dia berjalan dengan hati-hati. Berharap langkah kakinya tidak terdengar oleh Ibunya. Tiba-tiba dia berhenti. Dia mulai heran. Kenapa suara Ibunya tidak kedengaran. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Mungkin Ibunya sedang mandi. Tidak mungkin. Dia membantah sendiri jawabannya. Apa Ibu lagi ke pasar. Ini bukan jadwal Ibu ke pasar. Seharusnya Ibunya sekarang sedang memasak, tapi dia tidak mendengar suara dari dapur. Dalam hati dia berkata, mungkin ini jalan dari tuhan agar dia bisa pergi.
“Reyhan, hati-hati di jalan nak!” Reyhan terhenti sejenak. Kemudian menghadap ke dapur. Ingin minta izin pada Ibunya. Tiba-tiba dia menggeleng sendiri. Dia berbicara sendiri. Tidak mungkin Ibunya mengizinkannya keluar. Mungkin itu hanya harapannya saja. Berharap bisa mendengar ucapan itu dari Ibunya.
Minggu pagi pantai terlihat sangat ramai. Anak-anak SD bermain bola didampingi Ibunya. Sesaat aku teringat pada Ibu. Dulu aku sering bermain dengan Ibu di pantai. Meski Ibu over protektif, tapi ibu selalu ada waktu untuk bermain denganku saat hari libur. sedang apa Ibu sekarang? Mungkin Ibu sedang mempersiapkan kalimat untuk memarahiku nanti. Reyhan memejamkan matanya. Entah apa yang bersemayam di kepalanya. Sesaat matanya terbuka.
“Aku bebas...” teriakan Reyhan spontan membuat anak kecil yang bermain disampingnya berlari menuju Ibunya. Dia buru-buru minta maaf. Karena memang tidak bermaksud membuat anak itu terkejut.
Reyhan terkejut dan menoleh ke arah seseorang yang menyentuh pundaknya. Ternyata Ferdi temannya.
“Apa kamu fikir Ferdi Ibumu? Mikel bertanya dengan nada cemooh. Reyhan tidak menjawab. Dia hanya mencibir. Dalam hati tadi dia memang merasa kalau itu adalah Ibunya. Karena menurutnya tidak mungkin Ibu akan membiarkannya bebas.
Pantai kelihatan mulai sepi. Matahari sudah tegak setinggi tombak. Beberapa jam kemudian, seseorang datang memanggil Reyhan. Bang Mail. Bang Mail adalah seorang tukang galon langganan Ibu.
“Ada apa Bang?” Reyhan menyodorkan pertanyaan tanpa memberi kesempatan Bang Mail untuk menghela nafas.
“Ibumu...”
“Apa Ibu marah karena tahu aku kabur dari rumah Bang?
“Ibumu....” Air mata jatuh dari ujung-ujung mata Bang Mail. Membasahi pipinya. Reyhan terdiam. Jantungnya terasa sesak. Bagaikan sebuah batu besar masuk ke dalam dadanya. Dunia seolah-olah berhenti berputar. Deburan ombak tak terdengar lagi. Hilang bagai ditelan bentangan pasir.
Di depan rumah Reyhan telah berdiri bendera hitam. Warga telah memenuhi rumah nya. Seorang wanita separuh baya menghampirinya. Bi Aini. Adik Ibunya. Dia merangkul Reyhan dan membisikkan agar Reyhan tetap sabar. Reyhan mendekati tubuh Ibunya yang terbujur kaku di atas kasur di ruang tengah rumahnya. Air matanya tidak menetes sedikitpun. Tapi dari wajahnya terlihat, betapa sesak di dalam dadanya.
“Reyhan memang berbeda dari anak lainnya. Dia tidak menangis sedikitpun.” Bisikan tetangga yang berdiri di belakangnya terdengar sayup-sayup sampai. Salah satu tetangga membelahnya dan mengatakan bahwa itu menandakan petapa dalam kesedihan yang dia rasakan. Bahkan tangis yang tertahan itu lebih menyakitkan.
Reyhan masih terdiam dalam kesedihan. Dia tidak bicara sepatah katapun. Bahkan sampai jenazah Ibunya di bawah ke liang lahat. Saat jenazah Ibunya akan di masukkan ke liang lahat, saat itulah Reyhan tidak sanggup menahan air mata yang membendung di matanya. Reyhan memegang jenazah Ibunya. Mencegah agar jenazah Ibunya tidak di masukkan ke liang lahat.
“Ibu, bagaimana Ibu akan mengontrol jadwalku, jika Ibu tidak berada dalam rumah yang sama denganku?” Reyhan terus memegangi jenazah Ibunya. Dia meronta agar jenazah Ibunya tidak di masukkan ke liang lahat. Beberapa warga memegangi Reyhan yang meronta begitu kuat. Bi Aini mencoba menenangkan Reyhan.
“Jika Ibu tidak tinggal satu rumah denganku, aku akan terus bermain. Aku tidak mau lagi belajar.” Reyhan terus mengoceh. Berharap ibunya bisa mendengarnya. Tapi sayang sekali, itu semua hanya harapan yang tidak mungkin terjadi.
Warga sudah mulai pergi satu persatu. Sekarang tinggal Reyhan dan Bi Aini. Bi Aini adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Reyhan sekarang. Semenjak ayahnya meninggal, keluarga ayahnya tidak pernah mengunjungi Reyhan dan Ibunya. Entah apa sebabnya.
Malam terasa begitu panjang. Langit gelap. Tidak ada satupun bintang di langit. Disini tidak ada meja belajar. Dan yang pasti tidak ada suara Ibu. Dulu Reyhan sering menyebutnya alarm Reyhan. Biasanya jam segini sudah berbunyi, Reyhan, sudah larut malam. Saatnya tidur.
Semenjak Ibunya meninggal, Reyhan tinggal di rumah Bibinya. Dia membantu Bibinya bekerja. Dia tidak lagi hidup dengan jadwal yang di buat Ibunya. Dia memiliki banyak waktu kosong sekarang. Sesuai apa yang selama ini menjadi harapannya. Tapi Waktu itu terbuang percuma. Sepanjang hari, jika tidak ada kerjaan Reyhan lebih memilih tidur dan kadang bermenung.
Sekarang Reyhan sudah mulai sekolah kembali. Hari-hari yang dijalani selalu terasa kosong. Terasa ada yang di bawa pergi oleh Ibunya. Jika saja dia menyadari, bahwa kekosongan itu bukan karena Ibunya membawa sesuatu miliknya, tetapi karena dia tidak melakukan sesuatu yang sudah biasa dia lakukan, mungkin kekosongan itu tidak akan menghampirinya.
Beberapa bulan pun telah berlalu. Reyhan sudah kelihatan sibuk. Tidak ada waktu untuk bermenung. Dia kembali menempel jadwal yang telah ditulis Ibunya. Dengan jadwal itu, dia menjalani sekolah sampai kuliah dengan baik. Sekarang dia sudah manjadi manager di sebuah perusahaan. Baginya, hidup disiplin itu merupakan kunci kesuksesan.
*****
Air mata yang menetes dari ujung kedua matanya belum juga dihapus. Tiba-tiba mulutnya melengkung membentuk senyuman. Dari pipinya terlihat lesung pipit warisan dari Ibunya. Terdengar satu kata keluar dari mulutnya. Ibu. Dia melihat Ibunya yang tersenyum menghampirinya. Dengan pakaian serba putih. Ibunya terlihat bahagia. Ibunya terlihat cantik. Lagi-lagi dia berkata. Terima kasih telah mengajarkan aku disiplin. Terima kasih telah mengatur waktuku, dan terima kasih atas segalanya Ibu. Kesuksesan ini adalah hadiah terbesar Ibu. Sekarang aku mengerti, bahwa apa yang Ibu lakukan adalah untuk kebaikanku.
“Reyhan, jangan tidur seperti itu! Nanti lehermu bisa sakit.” Mendadak kepalanya kembali tegak. Matanya terbuka lebar. Dia menoleh ke sekeliling kamar, kamar yang dulu adalah miliknya. Dia beranjak dari tempat duduknya. Mencoba mencari sekeliling sumber suara itu. Entah berapa lama ia mencari. Tapi yang dicari tidak bisa ditemukannya.
Dia kembali menutup jendela rumah Bu Meira, Ibu yang selalu dia rindukan. Ibu yang bahkan sampai sekarang masih menjaganya. Meski dia mulai tidak tahu membedakan antara mimpi dengan kenyataan.


Padang, 27 Mei 2016
Irepia Refa Dona, Sarjana Fisika Universitas Negeri Padang.
Anggota Forum Lingkar Pena Sumatera Barat





7 comments:

  1. aku beharap reyhan itu ganteng dan cool...

    :)

    ReplyDelete
  2. aku beharap reyhan itu ganteng dan cool...

    :)

    ReplyDelete
  3. Kk q mau kirim puisi ku
    Dengarkanlah
    Karya:nahgawana Tirta surya
    Semalam aku mendengar
    Nyaring di telinga ku
    Tentang nada-nada indah
    Biola ,yang membuatku berdansa
    Bersama cinta mu ,yang telah terkubur ...
    Dalam alunan kehidupan
    Setelah ,ku dengar tentang itu
    Cuman doa yang bisa ku panjatkan
    Tentang semua yang telah terjadi

    ReplyDelete