2017 ~ Bersyukur dan Berbahagia

About Me

About Me


Penikmat sastra dan staff pengajar fisika
di salah lembaga bimbingan belajar di Padang.
Bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Hobby melakukan apapun asal menyenangkan.

FLP

FLP
Logo FLP

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, July 24, 2017

Mencuri Matahari




Alhamdulillah... akhirnya bisa nongkrong juga di koran nasional. Sedikit curcol, cerpen ini awalnya aku kirim ke basabasi.co. Ternyata dia kalah keren dengan cerpen yang masuk lainnya. Setelah dua bulan nangkring di sana (dan memang ketentuan batas waktu di basabasi.co dua bulan), akhirnya aku putuskan untuk mempolesnya  sedikit, berharap agar ia terlihat sedikit anggun (entah sudah anggun entah belum :)) dan alhamdulillah cuma butuh waktu satu minggu untuk ta'aruf, berjodohlah dia dengan Media Indonesia. Jodoh yang tidak pernah terbayangkan. Ya, bagaimana pun semua sudah ada yang atur kan???
Selamat membaca cerpen sederhana ini...
semoga terhibur..

 Terbit di Media Indonesia, 23 Juli 2017
Aku selalu menatap sayu matahari yang meluncur perlahan ke ufuk barat. Satu hal yang aku yakini bahwa matahari itu tidak terbenam, tapi berendam. Ia sengaja merendamkan dirinya dalam lautan karena kepanasan seharian memancarkan sinarnya.
Pernah suatu ketika aku berenang ke tengah lautan—menyelam jauh ke dasar laut, mencuri matahari yang sedang berendam. Tapi belum sampai beberapa jam, aku merasa kesusahan bernafas. Dan badanku terasa berat untuk digerakkan. Seolah ada tangan yang menahanku dan berangsur-angsur tangan itu menarikku jauh ke dasar lautan.
Aku tahu makhluk jenis apa yang menarikku. Kata orang, itu adalah hantu air. Aku mendengar cerita itu dulu. Saat berita duka yang membuatku mengubah cita-cita sederhanaku yang semula ingin menjadi guru di sebuah sekolah dasar menjadi pencuri matahari. Mungkin bagi anak-anak seusiaku, cita-cita memang seringkali berubah-ubah.
“Kenapa harus matahari, Ntur?” tanya guruku dengan nada yang aku tidak bisa mengartikannya. Yang jelas, nada bicaranya berbeda dari biasanya.
“Karena Ibu bilang matahari memancarkan cahaya sendiri.” jawabku biasa.
“Bintang juga memancarkan cahaya sendiri. Bintang banyak di langit. Jika kau mencurinya satu atau bahkan lebih, tidak ada yang tahu. Tapi jika matahari, saat kau mencurinya, orang-orang akan tahu.”
“Bintang tidak pernah turun ke bumi, Ibu. Aku juga tidak bisa memanjat langit. Aku tahu, bintang tidak pernah jatuh. Yang jatuh itu meteor.”
“Jadi kapan matahari jatuh ke bumi?”
“Pada saat sore dan pagi harinya. Sore ia akan berendam di lautan dan pagi sebelum ia terbit ia berada di pegunungan.” ujarku masih dengan nada biasa. Semua orang di dalam kelas itu tertawa mendengar jawabanku. Pun guruku. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Yang jelas aku dengar ada yang mengatakan kalau aku ada peningkatan dalam hal melucu sejak aku kehilangan ayahku.
*****
Setiap sore aku berenang ke tengah lautan. Tidak ada yang melarangku. Mereka hanya menatapku biasa. Seperti biasanya seseorang yang sedang melihat sapi memakan rumput. Tapi aku tidak pernah berhasil menemukan di mana tepatnya matahari itu berendam. Mungkin barangkali aku kurang jauh. Bahkan aku belum sampai pada pertengahan lautan.
Hingga di sore itu aku memaksakan diriku untuk terus berenang. Aku mengabaikan lelah yang menyerang seluruh tubuhku sampai akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya kaku. Aku rasa aku sudah mati saat itu.
Tapi malamnya saat aku terbangun, aku menatap sekeliling. Bukan tanah yang berada di sampingku. Tidak ada cacing atau kalajengking yang bersiap menyantap tubuhku. Aku tidak berbaring di atas tanah dan dihimpit oleh tanah juga. Aku berbaring di atas dipan, tempat di mana aku biasa tidur. Seingatku, aku telah mati tadi sore di lautan. Aku tidak tahu kenapa aku berada di sini sekarang. Aku berjalan menuju kamar ibu. Aku lihat ibu sedang tertidur pulas. Aku urung membangunkan ibu. Setidaknya saat tidurlah ibu terlihat lebih tenang.
Besok paginya aku tanyakan pada ibu perihal kejadian semalam. Ibu hanya menggeleng sambil mengatakan dua kata ‘tidak tahu’. Dan sejak saat itu pula aku mengubah ruteku. Aku tidak lagi mencari matahari saat sore. Saat ia membenamkan dirinya dalam lautan. Aku mulai mencarinya saat subuh, saat ia bersiap-siap terbit di ufuk timur.
*****
Hari itu sekitar jam tiga pagi aku telah bangun. Aku melihat ibu ke kamar. Ibu masih tidur nyenyak. Bukan takut ketahuan oleh ibu dan akhirnya ibu melarangku untuk mencari matahari, tapi aku takut langkah kakiku akan membangunkan ibu dari tidurnya. Sehingga aku usahakan untuk sepelan mungkin melangkah dan menutup pintu kembali.
Ini adalah pertama kalinya aku keluar saat malam. Di luar masih gelap. Hanya ada hening dan kesunyian. Barangkali jam segini orang-orang sedang nyenyak dalam tidurnya. Atau mungkin ada sebagian orang yang taat, ia sedang beribadah menghadap Tuhan mereka. Malam memang waktu yang tenang untuk beribadah. Tapi aku malah keluar dan mencari matahari.
Aku menjadi anak yang pemberani kecuali perihal bicara. Akhir-akhir ini frekuensiku bicara semakin berkurang. Aku hanya berpikir dan berpikir.
Tidak jauh perjalanan yang aku tempuh. Cahaya matahari berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi. Aku rasa aku kurang tepat dalam menghitung waktu. Jika besok aku ingin menemukan matahari, mungkin aku harus berangkat lebih cepat dari hari ini. Aku tidak mungkin mencuri matahari yang sudah tinggi di atas langit. Aku tidak punya tangga untuk ke langit. Seandainya ada, orang-orang pasti akan membunuhku karena mereka juga tidak akan mau kehilangan matahari dalam hidupnya.
Hingga suatu ketika, aku mulai berangkat saat pagi. Aku menghabiskan beberapa hari di perjalanan. Aku telah berjalan jauh. Dan aku sudah tidak pulang ke rumah dalam waktu yang lama. Ibu tidak akan kehilanganku. Saat aku pulang, ibu juga tidak akan pernah bertanya ke mana aku selama ini. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal.
Aku memasuki hutan demi hutan. Aku memakan apapun yang bisa dimakan. Aku menghindar dari binatang buas untuk menyelamatkan diriku agar tidak menjadi santapannya. Tapi tubuhku mengenal lelah juga. Hingga akhirnya aku terkulai lelah dan tertidur entah dalam waktu berapa lama. Saat aku terbangun, seekor singa telah menatapku dengan tatapan kelaparan.
Aku berlari sekuat tenaga. Singa mengejarku dengan lari yang tak kalah cepat. Dengan tubuh yang lelah, setidaknya aku hanya tidak boleh membiarkan diriku menyerah begitu saja. Mungkin menunda waktu makan singa, begitulah yang aku lakukan saat ini. Dan saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan seberapa dekat jarak singa itu dariku, sesuatu menghalangi kakiku hingga membuat tubuhku terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Aku masih bisa melihat singa yang dengan gagah menghampiri tubuhku yang lemah.
Di saat-saat gentingku, hanya satu hal yang bisa aku ingat. Ya, pesan ibu dulu saat ayah masih berada di antara kami. Ibu menyuruhku untuk rajin belajar supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan selain menjadi nelayan yang hanya mempertarungkan nyawanya. Tapi ibu tidak ingat satu hal, di atas rencana kehidupan yang seolah telah digambar ibu untukku, masih ada Tuhan yang mengatur tentang takdir manusia. Dan buktinya, aku hanya bisa bersekolah sampai sekolah dasar lantaran ayah mengakhiri ajalnya hanya dengan segulung ombak besar yang menerjang perahunya.
Sejak kepergian ayah yang ibu sendiri tidak menguburkan jasadnya layaknya orang lain, ibu menjadi perempuan tercengeng yang pernah aku temui. Dunia ibu terlihat gelap. Dan aku rasa ibu telah kehilangan matahari di matanya.
Setiap malam ibu menangis. Aku bertanya pada ibu kenapa ibu tidak berhenti saja menangis. Lagian ayah juga tidak akan kembali sekuat apapun ibu menangis. Walau aku hanya menduduki kelas lima saja, setidaknya aku pernah belajar kalau orang mati itu tidak akan pernah hidup lagi. Tapi ibu tidak pernah menjawab pertanyaanku. Ibu hanya terus menangis. Aku bahkan yakin telah memakan nasi yang di campur dengan air mata ibu.
Aku seolah menjadi seseorang yang bernyawa tapi tak berjasad. Aku seolah menjadi seseorang yang memiliki mulut untuk bicara, tapi tak pernah didengar. Aku muak. Dan sejak saat itu aku menjadi anak lelaki pemurung yang lebih memilih diam daripada bicara tapi lebih sering meneteskan air mata.
Tapi di sore yang aku sendiri tidak tahu harus aku bilang apa, ibu kembali dengan mata yang tidak lagi memancarkan kesedihan. Ibu tersenyum menatapku. Dan berjalan menujuku yang saat itu telah berdiri di halaman rumah dengan pakaian yang sangat kotor.
“Kau darimana saja, Ntur?” ujar ibu dengan nada lembut sambil membelai rambutku yang kotor dan mungkin berbau busuk. Aku hanya diam.
“Kau baik-baik saja?” ibu bertanya lagi padaku.
“Kau lapar?” Semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut ibu. Dan kau tahu, aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan dan gelengan. Mungkin sesekali mengatakan iya atau tidak.
Aku pikir, ibu tidak akan pernah membaik. Tapi aku lupa, luka seiring berjalannya waktu pasti akan kering. Dan aku yakin luka ibu sudah mulai membaik. Aku bahagia. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencuri matahari untuk ibu karena matahari itu telah bersinar kembali di mata ibu. Tapi aku rasa, aku tidak bisa lagi menjadi anak lelaki periang. Aku sudah terbiasa dengan sifat bekuku.
Aku hanya menatap ibu datar. Ibu mengajakku masuk. Saat itu mataku menemukan seorang lelaki yang sedang berdiri di pintu rumahku. Ia menatapku tersenyum. Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tidak bicara atau bertanya. Aku hanya mencoba berpikir. Sudah berapa lama aku pergi? Aku bahkan tidak bisa mengingatnya.

Padang, 2017







Tuesday, April 25, 2017

Rindu Rumah

Singgalang, 23 April 2017 Oleh : Irepia Refa Dona

Satinggi-tinggi tabangnyo bangau, baliaknyo ka kubangan juo. Abah sering kali mengatakan itu setiap kali Zea mengatakan kalau ia benci tinggal di kampung halaman. Banyak hal yang membuatnya sakit. Meski kadang luka tidak berdarah, namun kau tahu, luka dalam yang tidak tampak itu jauh lebih parah. Namun petuah Abah, yang juga sering ia dengar dari lagu minang itu, tidak pernah bisa ia lupakan. Abah benar. Sejauh apapun kakinya melangkah, namun naluri rindu rumah selalu menghantuinya. Setiap kali memasuki puasa atau lebaran. Setiap kali rekan kerjanya membuat rencana untuk pulang, setiap itu pula Zea selalu teringat kata-kata Abahnya. Namun seberapa besar pun ia rindu rumah, seberapa besar pun ia ingin pulang, ia tidak tahu lagi, rumah mana yang ia rindukan? Ke mana ia akan pulang? Kubangan itu, ia rasa tidak ada lagi.
*****
“Tahun ini kau tidak pulang lagi, Ze?” Zea membaringkan badannya di atas kasur tipis berseprai hijau. Ia selalu menyukai warna hijau. Warna hijau bagaikan pemandangan di kampung halamannya. Pemandangan tentang bukit yang ditumbuhi pepohonan. Pemandangan tentang sawah yang terbentang luas. Pertanyaan Didi siang tadi masih terngiang di telinganya. Ini bukan pertanyaannya pertama kali. Setiap tahun, tidak hanya Didi, bahkan teman yang lainnya juga bertanya perihal itu.

Tidak banyak yang tahu tentang Zea. Bagi Zea, tidak ada baiknya orang terlalu banyak tahu perihal kehidupan kita. Tentang anak perempuan satu-satunya. Tentang luka yang digoreskan oleh sanak saudaranya. Tentang rencana Zea yang ingin menghilang dari kehidupan sanak saudaranya. Namun bagaimanapun Zea mencoba menghilang, hubungan kekeluargaan itu datang secara alamiah.

“Seberapa besar pun mereka menyakiti kita, namun mereka tetap keluarga kita, Ze. Kau tidak bisa dengan mudahnya memutus hubungan kekeluargaan. Keluarga tetap keluarga sekalipun mereka lebih terlihat seperti musuh.”

Zea memukul-mukul dadanya keras. Matanya merah mencoba menahan tangis yang jika dilepaskan pasti akan meledak. Lama sekali rasanya ia tidak menangis. Lama sekali ia menahannya. Sejak terakhir kali, saat ia memutuskan menjual rumah peninggalan orangtuanya. Harta warisan satu-satunya. Keputusan paling sulit saat itu. Rumah yang seharusnya tidak dijual. Rumah yang akan menjadi tempat atau tepatnya alasan untuk ia pulang. Tapi saat itu ia menjualnya. Tangisnya pecah. Membasahi uang hasil penjualan rumah orang tuanya.

“Maafkan aku Abah, Emak.” Zea terisak. Menghapus kasar air mata yang mengalir di kedua pipinya. “Jika kau marah, maka kutuklah aku dari atas sana. Aku rasa, aku tidak punya pilihan lain.” Zea membaringkan badannya sembarang di lantai kontrakannya. Setelah menjual rumah orangtuanya, ia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya. Merantau jauh. Tidak ada yang bertanya kemana ia pergi. Semua sanak saudaranya marah saat tahu kalau ia menjual rumah orangtuanya. Berbagai umpatan datang silih berganti. Namun Zea tahu, mereka hanya marah, bukan peduli. Biarlah merasakan sakit sebentar dari pada sakit lama jika harus tinggal di kampung halaman. Begitu yang ada di pikiran Zea saat itu. Dan dia tidak pernah menyesali keputusannya.

Setiap kali Zea merindukan kampung halamannya, setiap kali itu pula ia akan mengingat kembali perilaku sanak saudaranya padanya. Semenjak Emaknya meninggal karena sakit paru-paru, Abah sering sakit-sakitan. Abah tidak memiliki banyak harta. Sawah satu-satunya yang dimiliki Abah telah dijual saat mengobati Emak. Abah hanya bekerja di ladang orang. Saat itu Zea baru SMA. Ia lebih sering membantu orang-orang membelah pinang. Kemudian ia akan diberi sedikit uang. Uang itulah yang sering digunakan sebagai uang sakunya ke sekolah. Upah Abah bekerja di ladang orang hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan terkadang membeli obat Abah.

Namun Abahya sakit parah. Ia harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Zea selain datang pada sanak saudaranya. Kata-kata penuh permohonan masuk telinga kiri keluar telinga kanan bagi sanak saudaranya. Air mata terbuang sia-sia. Bukan belas kasihan ia dapatkan, tapi umpatan yang membuat sakit tambah parah. Bagai luka bakar yang disiram air garam. Pedih.

“Itu sebabnya selagi muda bekerja dengan keras. Kau pikir kau akan sehat selamanya. Lihat, sakit seperti ini kau butuh banyak uang. Coba kau punya sapi untuk dijual. Tapi apa yang kau punya? Siapa yang mau membeli kucing hitam jelek yang kau pelihara itu?”

“Kami juga tidak punya uang, Ze.  Bahkan untuk makan sehari-hari saja susah. Kau lihatlah Mak Etek kau, makin hari makin kurus saja.” 

“Aku lagi butuh banyak uang, Ze. Raka sebentar lagi wisuda. Tidak mungkin uang wisuda Raka dipakai dulu. Nanti kalau kau belum bisa bayar, kasihan Raka.”

Ada banyak penolakan yang didengar Zea. Penolakan dengan berbagai alasan. Walau kadang alasan itu sangat sulit diterima Zea. Tapi apalah dayanya. Ia tidak bisa memaksa. Ia hanya harus menerima. Bahkan ia harus menerima takdir, setelah ia menggadaikan rumahnya untuk mengobati Abahnya, Abahnya pergi untuk selamanya. Abah sudah melarangnya untuk mengobatinya. Namun Zea merasa, hatinya tidak bisa menerima kalau Abah hanya dibiarkan tanpa sempat berobat. Dia tidak sanggup melihat Abah yang hanya terbaring seolah hanya menunggu ajal. Tanpa ada harapan untuk sembuh.

“Begitulah kehidupan Zea. Kau tidak perlu heran. Saat kau kaya, bahkan sehasta akan menjadi sejengkal. Tapi saat kau miskin, sejengkal akan jadi sehasta. Saat kau miskin mereka akan menganggapmu keluarga tidak, sanak pun haram. Begitu yang akan kau alami. Itu sudah hukum alam. Bagaimana hukum alam akan berlaku padamu, itu tergantung bagaimana cara kau hidup. Hiduplah dengan baik.”

Abah menutup mata untuk selamanya. Zea tidak menangis, tapi dadanya serasa disesaki sesuatu. Berdesakan ingin keluar. Sebagai anak ia merasa gagal. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Pernahkah ia membuat Abah dan Emaknya bahagia walau sesaat? Pernahkah mereka bersyukur karena telah memilikinya? Lama Zea terpuruk. Ucapan belasungkawa dari sanak saudaranya datang silih berganti. Namun ia tidak lagi mengharapkan itu. Ucapan itu sedikit pun tidak membuatnya terhibur. Dapatkah ucapan itu membawa Abahnya kembali?

Rumah terasa sepi. Belasungkawa hanya berlangsung satu hari di mata orang-orang. Meski itu hanya diperlihatkan dari cara mereka berpakaian dan raut wajah mereka yang entah itu benar entah tidak. Tapi belasungkawa terus berlangsung di hati Zea. Bahkan sebulan setelah kepergian Abahnya. Dan setelah sebulan itu, ia memutuskan menjual rumah yang telah digadaikan itu.

Betapa besar rasa bersalah Zea. Ia tidak bisa tidur dengan nyaman. Setiap kali ia mencoba memicingkan matanya, ia teringat kembali tentang Abah dan Emaknya. Tentang rasa kecewa mereka karena telah menjual rumah satu-satunya kenangan yang tersisa. Hingga saat malam itu, saat ia terlelap dalam lelahnya, ia bermimpi kalau Abah dan Emaknya mendatanginya dengan pakaian serba putih. Mereka membelai lembut rambut Zea. Kemudian mereka tersenyum dan pergi bersama cahaya yang menelan tubuh mereka. Zea terbangun. Di dapatinya lampu kontrakkannya mati. Ia tidak mempedulikan gelap. Ia memegang kepalanya. Seolah merasakan tangan Abah dan Emaknya masih menempel indah di kepalanya. Sejak saat itulah Zea yakin kalau orangtuanya tidak menyalahkan keputusannya.
*****
“Lebaran kali ini aku akan pulang.” Pagi senin yang sibuk seketika berubah menjadi hening dan lengang. Suara-suara bising yang semula mengisi ruangan kerja itu seketika menghilang bagai ditiup badai. Semua mata beralih kepada sumber suara yang sangat mereka kenali. Sudah hampir sepuluh tahun si pemilik suara bekerja di sini. Siapapun pasti hafal dengan suaranya.

“Kau sakit, Ze?” Didi memegang kening Zea. Sudah hampir sepuluh tahun Zea bekerja, baru kali ini ia mendengar Zea mengatakan kalau ia akan pulang. Biasanya lebaran selalu dihabiskan untuk bekerja. Bahkan Didi dan yang lainnya pernah mendapatkan jatah libur Zea yang diberikan Zea secara sukarela.

“Aku rindu rumah.” Suara Zea tertahan. Baru kali ini ia mengatakan rindu rumah. biasanya bicara tentang rumah selalu ia hindari. “Ya, aku sangat rindu rumah.” semua terdiam mendengar ucapan Zea. Mereka seolah dapat merasakan betapa Zea merindukan rumah. Zea tersenyum melihat ekspresi rekan-rekannya. Ia bahagia. Apalagi mendengar kabar tadi malam. Pak Kadir yang membeli rumahnya menghubunginya tadi malam. Ia bertanya soal sisa uang penjualan rumah apakah sudah habis atau belum. Selama ini Zea menyimpan uang itu. Hanya memakainya sedikit saat ia belum mendapatkan pekerjaan. Dan sekarang uang itu sudah banyak terkumpul ditambah juga dengan uang gajinya. Pak Kadir bilang, kalau ia sudah punya cukup uang, ia bisa mengambil rumahnya kembali. Betapa senangnya hati Zea, ternyata masih ada orang yang berbaik hati. Pak Kadir yang bukan keluarganya.

Sejak saat itu Zea bekerja makin giat. Ia membayangkan lebaran kali ini ia bisa melihat rumahnya. Tidak. Rumah Pak Kadir. Dia akan pulang satu hari saja tanpa seorang pun dari sanak saudaranya mengetahui. Bahkan Pak Kadir mungkin tidak akan mengetahuinya. Ya, mungkin ia hanya akan melihat rumah yang ia rindukan dari kejauhan sambil mengatakan, kalau ia sudah punya cukup uang, ia akan mengambil rumah itu kembali.

 Padang, April 2017

baca juga Undangan

Tuesday, February 14, 2017

UNDANGAN


Cerpen perdana terbit di Lampung Post. Benar-benar tidak menyangka kalau cerpen ini terbit dalam masa tunggu enam hari. Mungkin rezeki anak yang masih belum sholehah :). Bagi yang kebetulan baca, mohon do'ax agar saya tetap kosisten menulis dan jadi anak sholehah.
Oh iya, yang terpenting cerpen ini bukan kisah nyata. Jadi jangan bertanya lagi baik terang-terangan atau gelap-gelapan, apakah cerpen ini kisah saya? (Saya maklum, mungkin karena kebetulan saya juga penjual undangan. Bedanya, saya masih penjual undangan abal-abalan, dan Athar sudah punya toko).
 Cerpen ini hanya imajinasi saya yang berkelana ke sana kemari tak tau arah. Jika sudah membaca, yang bertanya pasti akan menyesal. Karena cerita sangat berbeda dengan kehidupan saya. Nanti kalau menyesal, tidak usahlah meminta maaf, karena saya sudah memaafkan. Cukup berikan saran dan masukan. dengan senang hati saya akan terima demi perbaikan ke depannya. 
Selamat membaca cerpen saya yang sederhana ini. semoga menghibur. Terima kasih sudah berkunjung. :D
 
Epaper Lampung Post 12 Februari 2017

Dulu aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah bukan karena ibuku tidak punya biaya untuk menguliahkanku. Hanya saja aku sadar diri. Bahwa aku adalah salah satu dari lelaki yang super malas dalam hal belajar. Kata orang lelaki itu banyak yang terlahir pintar. Jadi tidak masalah kalau ia sedikit malas belajar daripada perempuan. Tapi aku bukanlah bagian dari lelaki yang pintar itu. Entah kenapa Tuhan menciptakan aku dengan otak yang entah bagaimana. Aku sedikit bingung untuk menggambarkannya.
Akhirnya aku melanjutkan hidupku di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Dengan sebuah mesin cetak yang harganya tidak terlalu mahal. Walaupun dinding ruangan itu tidak tertempel lukisan yang menawan, tetapi cukup menarik untuk dipandang saat berbagai jenis undangan tertempel indah mengisi dinding berwarna kuning itu. Ya, aku memutuskan untuk menjual berbagai jenis undangan.
Sebenarnya saat aku memutuskan untuk menjual undangan, aku telah mencoba untuk berfikir berulang kali. Sampai aku tidak tidur semalaman. Aku merasa seolah-olah aku sedang menjalani takdir yang buruk. Ingatan tentang perkataan seorang nenek yang dulu pernah aku ganggu saat usiaku masih menunjukkan sifatku yang sedang nakal-nakalnya. Sebenarnya waktu itu aku bukan anak-anak lagi. Aku sudah remaja, tapi kenakalan bukanlah perihal usia.

Sunday, January 29, 2017

Kejadian dan Kejadian Lainnya


Terbit Di HALUAN Tanggal 29 Januari 2017

Sesekali terlihat perempuan yang sedari tadi duduk di bangku taman itu memetik bunga mawar merah yang sedang mekar. Sebenarnya aku ingin melarangnya merusak bunga yang ada di taman ini, tapi segera aku urungkan niatku saat melihat wajah murungnya. Aku tidak yakin apa yang akan dilakukan perempuan itu dengan setangkai bunga yang kini sudah berada di tangannya. Sesekali ia menyibak rambutnya yang diterbangkan angin sore itu.
Bukan ingin mencium aroma mawar seperti yang aku pikirkan, tapi ia malah melepaskan satu persatu kelopak bunga tersebut. Ah, selain merusak tanaman perempuan itu malah menambah sampah yang berserakan. Haruskah aku menegurnya? Tapi saat kakiku hendak melangkah, telingaku menangkap suara lembut perempuan itu.
“Datang.” Saat satu kelopak bunga lepas.
“Tidak.” Saat kelopak kedua lepas.
“Datang, tidak. Datang, tidak. Datang, tidak. Datang, tidak. Datang, tidak.” Begitu selanjutnya yang dikatakan perempuan itu sembari melepas satu persatu kelopak bunga tersebut sampai tak bersisa satu pun. Ia menghela nafas dalam. Dan aku pun menghela nafas dalam saat melihat kelopak bunga yang berserakan di bawah angin.

Thursday, January 26, 2017

Cara Mengirim Karya (Cerpen atau Puisi) Ke Media (Koran atau Majalah) Beserta Email



 Sumber. Dok. Pribadi
Sedikit berbagi. Karena akhir-akhir ini banyak teman yang bertanya tentang email media (koran dan majalah). Terus juga ada yang bertanya bagaimana cara mengirimkannya.
Sebenarnya saya tidak terlalu percaya diri menulis artikel ini. Saya rasa mereka salah tempat bertanya, karena kalau diibaratkan benda di permukaan bumi ini, pengalaman saya hanyalah sebesar debu yang menempel di dinding, mungkin. Sedikit. Tapi tidak apalah. Saya akan mencoba berbagi tentang pengalaman sebesar debu itu. Semoga saja bermanfaat.
Pengalaman itu pertama kali saya dapatkan saat bergabung di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat (terima kasih teman-teman FLP Sumbar). Semua sudah saya rangkum dalam sebuah tulisan yang saya ikutkan lomba essai aku dan FLP. Tulisan itu berjudul Aku Memilih FLP. Dan alhamdulliah belum diizinkan untuk menang :D.
Perihal Bagaimana cara mengirimkan karya ke media, berdasarkan pengalaman saya pribadi (Jika ada yang mempunyai pengalaman lain mungkin bisa dibagi di kolom komentar)

Sunday, January 22, 2017

Perempuan Pendongeng


Terbit di Radar Bromo 22 Januari 2017

Akhirnya aku berhasil move on dari Singgalang. berhasil move on bukan berarti aku melupakan Singgalang seperti yang dilkukan orang-orang pada mantan kekasihnya :D. Tapi bagiku, karena Singgalang lah aku bisa menemukan yang baru. 

Jika diibaratkan aku sedang tersesat di hutan saat malam menjelma gelap pekat, tapi di langit masih bertaburan banyak bintang. Ada bintang-bintang yang bercahaya sangat terang, ada bintang yang bercahaya sedang, dan mungkin jika aku perhatikan dengan seksama akan ada bintang yang bercahaya redup. Salah satu bintang itulah yang membawaku keluar dari gelapnya hutan. Dan jika aku boleh katakan, bintang itulah Singgalang.

Singgalang menuntunku ke luar. Meski aku tidak yakin kemana ia akan menuntunku, tapi aku sangat berterima kasih. Soal kemana arahku setelah keluar dari hutan yang gelap itu, keputusannya ada padaku, itu adalah bagaimana aku melangkah nantinya. 

Jika diibaratkan remaja yang sedang jatuh cinta, Singgalang adalah cinta pertamaku. (:D Sedikit lebay tak apalah. Jangan katakan aku terlalu aneh. Cukup tertawa saja sendiri. Selagi aku tidak tahu kalau orang sedang menertawakanku, menurutku itu tidak masalah.)

Ya udah, selamat membaca cerpen di Radar Bromo



Perempuan Pendongeng
Oleh : Irepia Refa Dona

Kau bisa meminta dibacakan puisi setiap saat jika kau menikah dengan seorang penyair. Kau bisa  dinyanyikan lagu kapan pun jika kau menikah dengan seorang yang pandai bernyanyi. Dan kau juga bisa pergi kemana pun jika kau menikah dengan orang yang suka travelling. Bagaimana dengan Yurike? Gadis pencinta dongeng sebelum tidur. Ah, dulu betapa senangnya dia karena setiap malam suaminya selalu membacakan berbagai dongeng kepadanya sebelum dia terlelap dalam pelukan suaminya. Karena ia menikahi seorang lelaki pendongeng. Tapi ada saatnya pula ia harus mendongeng untuk dirinya sendiri.
Dulu ibunya sangat khawatir jika suatu saat dia menikah. Atau jika suatu saat ibunya meninggalkannya untuk selamanya. Siapa yang akan membacakan putrinya dongeng sebelum tidur? Yurike hanya tersenyum sambil memperolok ibunya di malam itu, kalau ibunya tidak seharusnya mencemaskan hal itu. Ibunya seharusnya mencemaskan kalau bekalnya untuk menghadap sang Pencipta masih kurang.
“Setelah kau mati, siapa yang mendongengkan anakmu? Aku yakin, ibu tidak akan ditanya malaikat perihal itu.” Ucap Yurike di suatu malam saat ibunya lagi-lagi mengkhawatirkan perihal siapa yang akan mendongengkannya. Dia memang sudah terbiasa didongengkan sebelum tidur. Bahkan sampai usianya dewasa, ia masih didongengkan ibunya. Dia seperti orang kecanduan kopi. Atau seperti orang yang kecanduan merokok setelah makan. Mungkin rokok bisa saja digantikan dengan permen oleh orang-orang. Tapi tidak dengan dongeng menurut Yurike. Tidak ada yang bisa menggantikan dongeng.
Ayahnya seringkali protes padanya saat ia menarik ibunya ke kamar. Dia sebenarnya sangat mengerti kenapa ayahnya terus-terusan protes. Bagaimana ayahnya tidak protes, jika setiap malam ia terus mengurangi jatah waktu ayahnya bersama ibunya. Ibunya selalu bersamanya sebelum ia terlelap.
Dan diusianya yang ke dua puluh tujuh tahun, kekhawatiran ibunya pun hilang saat seorang lelaki romantis, lelaki pendongeng, datang melamarnya. Ibunya langsung saja merestui mereka saat mengetahui kalau lelaki itu pandai mendongeng. Sambil tersenyum ibunya berkata, bahwa sekarang ia bisa pergi dengan tenang. Yurike tidak mengubris ucapan ibunya kala itu. menurutnya, ibunya mengatakan itu hanya karena dia terlewat senang. Tapi ternyata, ibunya memenuhi ucapannya. Dan ia pergi setelah setahun pernikahan Yurike. Pergi untuk selamanya. Selang beberapa bulan, ayahnya pun pergi menyusul ibunya. Kini hanya tinggal Yurike dengan suami pendongengnya.
*****
Setiap malam ia selalu mendengarkan dongeng suaminya. Bayi yang berada dalam perutnya pun terasa menendang-nendang saat mendengarkan dongeng setiap malam. Dia sangat yakin, kalau bayinya merasa bahagia mendengar dongeng setiap malam.
“Si kecil menendang lagi, Bang. Dia pasti terlewat senang mendengar dongeng setiap malam.”
“Bagaimana kamu tahu kalau dia senang, Dik. Jangan-jangan dia menendang petanda dia tidak suka mendengar dongeng.” Yurike terlihat sedang menggunakan otaknya. Jangan-jangan suaminya benar. Tapi sesegera mungkin ia hapus pikiran bodoh itu. Siapa pula yang tidak suka mendengarkan dongeng. Pastilah itu karena dia bahagia.
“Mari kita tanya Dewa nanti jika ia sudah besar. Aku yakin, aku pasti benar.” Dewa adalah nama bayi yang telah mereka siapkan. Menurut hasil USG, ia mengandung anak laki-laki. Karena suaminya suka memberi nama tokoh dalam dongengnya dengan nama Dewa. Jadilah ia kasih nama anaknya Dewa. Dan suaminya hanya menyetujui.
*****
Seperti yang diduga dulu, Yurike melahirkan anak laki-laki. Dan anak itu ia beri nama Dewa. Setiap malam ia selalu menidurkankannya dengan dongeng walau terkadang Dewa sering menangis saat Yurike membacakannya dongeng.
Seiring berjalannya waktu, kini Dewa telah mulai ia antarkan ke taman kanak-kanak. Setiap malam Dewa masih tetap mendengarkan dongeng Yurike. Sampai suatu ketika, saat Dewa telah menduduki bangku sekolah dasar, Dewa mengingatkan Yurike tentang keraguan suaminya saat dulu Dewa menendang-nendang dalam perutnya saat dongeng dibacakan.
“Aku ingin punya kamar sendiri, Ibu.” Di Sore yang cerah itu Dewa mendekati Yurike yang sedang menjahit celana Dewa yang robek. Ini adalah permintaan pertama Dewa.
“Baru sebesar ini kau sudah malu tidur sama ibu? Apa teman-temanmu menertawakanmu karena kamu masih tidur sama ibu?” Yurike menimpali Ucapan Dewa sambil terus memasukkan benang ke lubang penjahit.
“Tidak.”
“Terus Kenapa?” Ia menatap Dewa yang sepertinya enggan untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin dikatakan.
“Baiklah. Ibu akan menyiapkan kamarmu.” Terlihat raut senang di wajah Dewa.
“Sebelum kau tertidur, ibu akan ke kamarmu untuk mendongengkanmu.” Seketika raut wajah itu berubah jadi cemberut. Ia menatap Dewa dengan seksama. Hati kecilnya bertanya-tanya, Ada apa dengan ekspresi itu.
“Aku ingin punya kamar sendiri karena aku tidak mau mendengar dongeng ibu lagi. Aku benci dengan dongeng-dengeng itu ibu. Bukannya tertidur nyenyak. Dongeng-dongeng itu telah membuatku susah tidur.” Yurike mengalihkan pandangan saat ia rasakan ada cairan di ujung jarinya. Merah. Ternyata ia tidak sengaja menusuk tangannya sendiri dengan jarum yang ia gunakan untuk menjahit.
 ‘Kekhawatiran suaminya terbukti. Andai saja dia ada disini sekarang, mungkin dia akan mengatakan kalau aku salah bahwa bayi kami terlewat senang saat mendengar dongeng. Ternyata Dewa sama sekali tidak menyukai dongeng. Bagaimana pun, aku harus mengerti, setiap orang berhak memilih apa yang disukainya. Aku tidak bisa memaksa anakku menyukai dongeng hanya karena aku suka dongeng. Atau hanya karena almarhum ayahnya seorang pendongeng.’ Yurike membatin saat mengingat permintaan Dewa siang tadi.
Sorenya ia bergegas membereskan kamar baru untuk Dewa. Usai itu ia hanya bermenung di belakang rumah. Apa ia marah pada Dewa? Tidak. Ia sama sekali tidak marah. Ia bermenung karena ia hanya terpikirkan satu hal. Kepada siapa ia harus membacakan dongeng jika ia ingin mendongeng? Haruskah ia mendongeng pada dinding yang tidak akan pernah protes apakah dia akan menyukai atau tidak.
Saat sore menjelma jadi gelap, Yurike selalu mondar-mandir. Ia tahu, Dewa pasti sedang bingung melihat tingkahnya. Tapi bagaimana pun, ia harus melakukannya agar ia bisa berpikir dengan baik. Begitu menurut hati kecilnya
“Ibu sedang apa?” Suara Dewa menghentikannya saat putaran yang sudah tidak terhitung lagi.
“Ibu sedang berpikir Dewa.”
“Ibu berpikir tentang apa?
“Tentang kepada siapa ibu mendongeng nanti malam. Kau pasti tidak mau mendengarkan dongeng ibu. Jadi ibu harus mencari pendengar baru.” Dewa dengan pikiran polosnya ikut menatap ke atas layaknya orang sedang berpikir.
“Rasanya ibu mau mati bila setiap malam ibu tidak bisa membacakan dongeng yang sudah tersimpan rapi diingatan ibu.”
“Dewa tahu, Ibu.”
“Tahu apa?”
“Ibu bisa mendongeng kepada diri ibu sendiri. Bukannya ibu bisa mendengarkan dongeng ibu sendiri?” Sesaat Yurike terdiam mendengar ide Dewa. Ia mencoba berpikir dengan seksama.
“Kau benar anak pintar. Bukannya aku bisa mendongeng untuk diriku sendiri? Ah, betapa bodohnya aku tidak terpikirkan soal itu.”
Dewa hanya tersenyum saat melihat ibunya bertingkah layaknya teman sekolahnya yang sedang mendapat nilai seratus. Betapa terlihat bahagia ibunya saat ini.
Mata Yurike berbinar-binar. Satu hal yang ia pikirkan sekarang, berarti ia akan bisa membacakan sembari mendengarkan dongeng tentang perempuan dengan segala keanehannya yang dibacakan terakhir kali oleh suaminya. Itu adalah dongeng terakhir yang didengarnya dari mulut suaminya malam sebelum kecelakaan besar itu terjadi. Baginya dongeng itu seperti diciptakan khusus untuknya. Ia seperti Puti Sari yang menjadi tokoh dalam dongeng itu. Puti Sari yang selalu ingin memeriksa kebun ayahnya demi melihat penjaga kebun yang tampannya luar biasa.
Baginya dulu memang dia menyukai dongeng. Tapi semenjak mengandung Dewa, bukan dongeng suaminya yang ia sukai. Tapi bau badan suaminya saat ia berada dalam pelukannya sembari tertidur. Betapa berbantal lengan suaminya adalah hal yang diidamkan saat itu. Sehingga ia harus berpura-pura ingin dibacakan dongeng setiap malam. Agar suaminya selalu berada di sampingnya mengantarkannya sampai ia terlelap. Sama yang dilakukan Puti Sari. Dan selama ini ia tidak bisa menceritakan dongeng itu pada Dewa yang masih anak-anak.
“Baiklah, kau boleh ke kamar sekarang. Ibu juga mau masuk kamar. Sepertinya telinga ibu sudah tidak sabaran untuk mendengar dongeng.” Yurike berjalan ke kamar dengan semangat. Dan Dewa pun berjalan ke kamarnya dengan perasaan bangga. Ia bangga telah bisa memberikan ide cemerlang pada ibunya. dan yang membuatnya sangat senang, mulai malam ini, ia akan terbebas dari dongeng ibunya. Ia hanya mendengar samar suara ibunya yang sedang mendongeng untuk dirinya sendiri. Entah sampai jam berapa. Entah kapan ibunya berhenti mendongeng. Yang pasti Dewa terlelap lebih dahulu sebelum ibunya berhenti mendongeng. Dan itu dilakukannya setiap malam mulai diselimuti gelap.

Padang, Januari 2017

PENULIS
Irepia Refa Dona. Pemilik hobi membaca dan menonton ini Lahir di Muara Jambu. Anggota Forum Lingkar Pena Sumatera Barat. Cerpennya dimuat dalam antologi bersama : Mimpi Merah Hari Ke-40 (Lomba Menulis Cerpen) dan Kasam (20 Cerpen terbaik sayembara cerpen Sumatera Barat).
  
Baca Juga Alarm Reyhan
Badai Pagi Ini